TIMES PALEMBANG, SURABAYA – Belakangan ini, linimasa media sosial dipenuhi konten bertema kesehatan mental. Mulai dari video berjudul “Tanda-tanda Kamu Mengalami Anxiety” hingga “Ciri-ciri Orang dengan ADHD.” Konten semacam ini awalnya bertujuan baik, yakni mengedukasi publik tentang pentingnya kesehatan jiwa. Namun, tren tersebut kini bergeser menjadi fenomena baru: self-diagnosis kesehatan mental, atau kebiasaan mendiagnosis diri sendiri hanya karena merasa cocok dengan informasi yang dilihat di internet.
Banyak pengguna media sosial, terutama kalangan muda, dengan cepat mengaitkan diri mereka pada gejala yang disebutkan dalam video atau utas daring. Tanpa pemeriksaan profesional, mereka lalu menyimpulkan bahwa dirinya mengalami gangguan mental tertentu. Padahal, proses diagnosis gangguan jiwa seharusnya dilakukan dengan observasi dan wawancara klinis oleh tenaga ahli, bukan berdasarkan perasaan “cocok”.
Sebuah penelitian berjudul Implications of Online Self-Diagnosis in Psychiatry (2024) menemukan bahwa:
“Diagnosis mandiri gangguan jiwa secara online tumbuh dengan cepat. Beberapa orang yang merasa gejalanya cocok akan mencari bantuan profesional, tetapi banyak yang tidak.”
Temuan itu menunjukkan bahwa sebagian besar orang berhenti pada kesimpulan pribadi tanpa melanjutkan ke konsultasi profesional, sehingga berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan mental mereka.
Apa Bahayanya Diagnosis Diri Sendiri?
1. Risiko Salah Tafsir
Perasaan cemas menjelang wawancara kerja atau sedih setelah putus cinta adalah bagian dari reaksi emosional normal. Namun, di media sosial, gejala alami ini sering disalahartikan sebagai tanda anxiety disorder atau depresi berat. Akibatnya, seseorang bisa kehilangan konteks, menganggap dirinya “sakit”, dan justru semakin cemas karena label yang diberikan pada diri sendiri.
2. Terjebak dalam Sugesti Negatif
Ketika seseorang meyakini dirinya memiliki gangguan mental tertentu, pikirannya dapat membentuk sugesti yang memperkuat keyakinan itu. Misalnya, seseorang mulai membatasi aktivitas sosial karena merasa dirinya “tidak normal”, padahal secara klinis belum tentu mengalami gangguan apa pun. Sugesti semacam ini justru dapat memperburuk kondisi psikologis.
Lalu, Harus Bagaimana?
Meningkatnya kesadaran publik terhadap kesehatan mental tentu merupakan kemajuan positif. Namun, media sosial sebaiknya dijadikan pengingat, bukan dokter. Informasi dari internet dapat membantu seseorang mengenali diri, tetapi tidak dapat menggantikan proses diagnosis dan terapi profesional.
Jika merasa ada yang tidak beres dengan kondisi psikis, langkah paling aman adalah berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater. Hanya tenaga profesional yang berwenang memberikan diagnosis dan penanganan yang tepat.
Dengan demikian, tren self-diagnosis kesehatan mental sebaiknya tidak diikuti secara membabi buta. Gunakan informasi digital secara bijak, kenali tanda-tanda awal gangguan jiwa, dan jangan ragu mencari bantuan ahli. Sebab, memahami diri adalah langkah awal, tetapi mendapatkan pertolongan yang benar adalah langkah penyelamat.(*)
Penulis Della Nur Khofiah, mahasiswa magang di TIMES Indonesia Biro Surabaya.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Fenomena Self-Diagnose Kesehatan Mental di Media Sosial, Ini yang Perlu Kamu Tahu
| Pewarta | : Siti Nur Faizah |
| Editor | : Imadudin Muhammad |