TIMES PALEMBANG, PROBOLINGGO – Kemerdekaan Indonesia, telah memasuki usia yang 79 pada tanggal 17 Agustus 2024. Hal ini menunjukkan Indonesia sudah cukup matang untuk menjadi negara yang maju dan berdaulat dalam berbagai aspek. Artinya, dengan usia yang sangat matang ini, seyogyanya Indonesia telah mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaan terutama dalam menegakkan keadilan di bidang hukum.
Sejak berdirinya, para pendiri bangsa ini telah memilih Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat). Pilihan ini, tertuang dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini meniscayakan bahwa di Indonesia, hukum memiliki kekuatan mengikat yang harus dipatuhi oleh seluruh warga negara dan pemerintah tanpa terkecuali. Karena prinsip dasar dari negara hukum ialah equaliy before the law (semua sama di mata hukum).
Dalam konteks itu, penegak hukum memiliki peran strategis dalam mewujudkan cita dari negara hukum. Bahkan, penegak hukum diyakini sebagai aktor utama dalam menentukan kualitas penegakan hukum di sebuah negara. Namun demikian, kinerja para penegak hukum, produk hukum baik di legislatif maupun di pengadilan belakangan ini sering kali dianggap kurang memuaskan bahkan menjadi sorotan dan memperoleh kritik yang sangat tajam.
Adanya reaksi dan kritik terhadap berbagai produk hukum dan penegakan hukum tersebut, mengindikasikan adanya ketidakberesan dalam sistem hukum. Artinya, dalam setiap kebijakan hukum maupun putusan hukum di pengadilan dimungkinkan adanya korelasi yang diametral dengan kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga seringkali menimbulkan kontroversi.
Beberapa Kontroversi
Jika kita flashback, bahwa beberapa tahun terakhir ini, utamanya sejak tahun 2022 dunia hukum di Indonesia mengalami banyak sorotan dan kritik. Hal ini disebabkan banyaknya kebijakan-kebijakan hukum yang dikeluarkan pemerintah atau putusan pengadilan dinilai sarat kepentingan dan intervensi. Sehingga setiap produk hukum itu, dianggap hanya sebatas untuk memenuhi kepentingan kekuasaan. Padahal hukum hadir untuk melindungi kepentingan negara dan masyarakat.
Diantara beberapa produk hukum dan putusan pengadilan yang menuai kontroversi dan reaksi tajam dari para ahli dan aktivis hukum antara lain: Pertama, lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Lahirnya Perppu ini dianggap bermasalah karena dikeluarkan dalam situasi yang normal dan tidak ada kegentingan memaksa.
Di samping itu, sebelumnya UU 11 Tahun 2020 Tentang Cipta kerja, oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, cacat secara formil dan inkonstitusional bersyarat, sehingga MK meminta pemerintah memperbaikinya paling lama dalam 2 tahun.
Kedua, Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023. Putusan ini cukup membuat heboh dunia hukum Indonesia. Pasalnya, putusan MK ini dinilai sarat intervensi dari penguasa. Bahkan putusan ini juga dianggap memiliki konflik kepentingan, sebab yang ikut memutus Ketua MK Anwar Usman yang memiliki hubungan keluarga dengan Gibran Rakabuming. Akibatnya, Ketua Anwar Usman dilaporkan ke Majelis Kehormatan MK (MKMK), puncaknya ia dinyatakan terbukti melanggar kode etik sehingga diberhentikan sebagai Ketua MK.
Ketiga, Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah batas usia bakal calon kepala daerah, dari yang semula dihitung sejak penetapan pasangan calon, kemudian diganti dihitung sejak pelantikan calon terpilih. Bahkan proses putusan ini sangat singkat, yakni hanya tiga hari.
Oleh para pengamat, putusan ini diduga sebagai jalan untuk meloloskan putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, untuk maju di Pilkada 2024. Sebab, jika mengacu pada aturan lama, Kaesang tak bisa ikut kontestasi pilkada karena usianya belum genap 30 tahun saat penetapan paslon pada September 2024.
Keempat, vonis bebas terhadap Ronald Tannur yang di dakwah melakukan penganiayaan terhadap Dini Sera Afrianti alias Andini (27) alias Andini hingga tewas oleh Hakim Pengadilan Negeri Surabaya (24/07/2024). Dalam amar putusannya, Ronald dinilai tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU), baik dalam pasal 338 KUHP atau kedua Pasal 351 ayat (3) KUHP maupun ketiga Pasal 359 KUHP dan 351 ayat (1) KUHP.
Memerdekakan Hukum
Beberapa kontroversi kebijakan dan keputusan hukum di atas mengindikasikan adanya problem dalam sistem hukum kita. Kemerdekaan para penegak hukum dalam menegakkan keadilan masih terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan politik dan individual, sehingga sulit menemukan kebijakan dan keputusan hukum yang objektif bertumpu pada nilai-nilai konstitusional dan keadilan. Hegemoni politik dan kekuasaan menjadi candu dalam penegakan hukum kita.
Hans Kalsen dalam bukunya, mengatakan bahwa hukum harus dijauhkan dari anasir-anasir non hukum jika ingin menegakkan hukum objektif dan merdeka. Pemurnian hukum dari anasir-anasir non-hukum ini, menjadi penting dalam kerangka membangun nalar hukum yang merdeka dan bebas dari kepentingan-kepentingan yang tidak berkaitan dengan hukum. Sehingga kepentingan hukum dapat direalisasikan dengan baik.
Pengelolaan hukum yang dijalankan oleh para penegak hukum untuk mengikuti prosedural pelaksanaan hukum yang telah diatur oleh undang-undang. Atas dasar inilah, posisi hukum sangatlah urgent untuk diperhatikan jika ingin mewujudkan hukum berkeadilan. Di samping itu, peran serta serta masyarakat diperlukan untuk mengawal implementasi hukum secara subtansial.
Adagium, Fiat justitia ruat coelum (sekalipun esok langit akan runtuh, meski dunia akan musnah, atau walaupun harus mengorbankan kebaikan, keadilan harus tetap ditegakkan), penting di internalisasi oleh para penegak hukum, agar independensinya dalam menegakkan hukum tetap terjaga.
Terakhir, momentum perayaan hari kemerdekaan yang 79 ini, tidak hanya menjadi ajang euforia yang miskin makna, tapi haruslah menjadi wahana reflektif untuk memperbaiki tatanan hukum yang merdeka, objektif yang berorientasi pada nilai-nilai keadilan. Pilihan negara hukum yang diadopsi oleh para pendiri bangsa ini, memiliki makna untuk melindungi berbagai kepentingan dan mengatur cara penyelesaian jika terjadi perselisihan antara berbagai kepentingan dengan berlandaskan pada prinsip tegaknya kepastian hukum. (*)
***
*) Oleh : Mushafi Miftah, Ketua Prodi Hukum Universitas Nurul Jadid, Paiton Probolinggo.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: 79 Tahun Indonesia Merdeka: Refleksi Memerdekakan Hukum
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |