Kopi TIMES

Resesi Tahun 2020-an dan Lingkungan Global yang Berubah

Jumat, 14 Agustus 2020 - 17:56
Resesi Tahun 2020-an dan Lingkungan Global yang Berubah Dr Iswan Noor SE ME, Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi FEB UB Malang (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMES PALEMBANG, MALANG – Kenapa sih kalau Indonesia akhirnya masuk ke jurang resesi ekonomi, semua kita jadi repot? Ada yang mencemaskan bila resesi ekonomi yang melanda Indonesia tak lama lagi itu (atau bahkan sudah?), maka rasa sakitnya akan berasa lebih sakit dan lebih parah daripada keadaan zaman krismon 1998 dulu.

Kok bisa begitu? Sebabnya akibat iklim ekonomi global saat ini yang sama sekali tak begitu menguntungkan perekonomian Indonesia.

Saat terjadinya krismon 1998 dulu, yang mengalami resesi parah itu hanya beberapa negara ASEAN saja (Thailand, Malaysia, dan Infonesia). Sementara ekonomi AS, Jepang, MEE, dan Australia, bahkan Singapura saat itu, masih stabil dan tak terkena resesi. 

Bahkan Singapura saat itu bersedia memberi pinjaman ke Presiden Soeharto hingga US$ 50 miliar. Dan lembaga internasional semacam World Bank, IMF atau Bank Pembangunan Asia pada masih mapan pendanaannya. Meskipun China waktu itu masih miskin, dan Soeharto masih putus hubungan diplomatik dengan China sejak 1965 terkait peristiwa G30S/PKI.

Kondisi dan iklim ekonomi global di sekitar Indonesia saat krismon 1998 itu,  sedikit banyak telah menguntungkan perekonomian Indonesia. Banyak negara-negara maju di Barat yang bersedia membantu Indonesia saat itu. 

Begitu pula lembaga Internasional seperti IMF dan World Bank. Bahkan negara-negara maju itu  bersedia untuk lebih membuka pintu importnya untuk barang-barang asal Indonesia pada masa itu, terutama untuk produk pertanian (kopi, coklat, teh, sawit, kayu) dan hasil tambang (migas, nikel dll). Sehingga penerimaan devisa sedikit tertolong.

Tapi tahun 2020 dan tahun-tahun yang akan datang dari sekarang, kondisi dunia itu berbeda sekali. Hampir semua negara maju saat ini sedang mengalami resesi parah. 

Harga komoditi pada jatuh ke titik nadir (minyak, batubara, sawit) dan daya beli negara maju untuk import menurun drastis. 

Apalagi pademik Covid-19 menyebabkan alokasi APBN dari  negara-negara maju itu akan lebih  mereka fokuskan untuk menangani penyebaran wabah itu dan upaya menemukan vaksinnya di negerinya masing-masing. Padahal  pengeluaran untuk Covid-19 ini bisa mencapai ratusan dan bahkan ribuan miliar dolar. 

Kondisi ini pada giliran berikutnya akan ikut mempengaruhi pasar uang dan pasar modal  internasional, dimana dana-dana para investor swasta dunia akan lebih banyak disedot oleh negara-negara maju itu via penjualan obligasi Pemerintah mereka, dengan iming-iming yang bunga tinggi.

Bagaimana dengan bantuan duit dari China? Sama saja, sangat sulit pada saat ini untuk berharap ke negeri Paman Mao ini. Sejak perang dagang dengan AS meletus, dan dilanjut dengan wabah Corona, terus masih berlanjut dengan berbagai bencana alam yang datang bertubi-tubi belakangan ini, serta kini masih ditambah pula dengan  pecahnya perang dingin baru dengan kemungkinan meledaknya menjadi  perang militer ( "a new cold war") dengan negara AS  dan Barat sekutu AS, menyebabkan pertumbuhan ekonomi di negeri tirai bambu ini tidak akan lagi bisa  mengalami "booming" seperti 2-3 dekade yl. 

Artinya ke depan, China tampaknya akan lebih fokus untuk membangun perekonomiannya sendiri saja, yang akan berbasis pada konsumsi rumah tangganya (saat ini menyumbang sekitar 20% GDP China). Selama ini pertumbuhan perekonomian China lebih banyak bergantung pada export-import, yang menyumbang sekitar 60% bagi GDP mereka. Inilah faktor penting yang bikin ekonomi mereka terpuruk saat ini akibat mulai dimusuhi Barat. 

Perubahan strategi ekonomi China ke depan, otomatis berakibat akan menyebabkan akan lebih fokusnya Pemerintah mereka pada perekonomian dalam negerinya saja. China ke depan,  tampaknya tidak akan lagi se expansif seperti saat ini di seluruh dunia, termasuk di dalam membagi-bagi "angpao"  berupa modal dan duitnya yang melimpah seperti saat ini ke berbagai negara dengan model proyek OBOR-nya. 

Satu-satunya kesempatan bagi Indonesia bila mau keluar dari masalah resesi saat ini, adalah berbenah diri habis-habisan di dalam negerinya sendiri. Terutama dalam hal penanganan korupsi. Sebab, korupsi inilah sesungguhnya biang kerok kerusakan ekonomi nasional saat ini, terutama sejak pasca reformasi 1998 dulu. 

Intinya, korupsi bikin perekonomian nasional tidak barokah, dan pada giliran berikutnya hanya memancing datangnya berbagai bencana untuk negeri ini, baik bencana alam, bencana ekonomi (resesi), bencana sosial dll.

Kondisi kita saat ini tidak bisa lagi semudah zaman krismon 1998 untuk dengan mudah  memohon bantuan dari  negara-negara maju dan kaya. Sebab ekonomi mereka pun saat ini sedang bermasalah berat (resesi yang menuju depressi),  dan terpuruk sangat dalam. Bahkan di AS saja, akibat krisis ekonomi yang dipicu wabah Covid-19, saat ini mulai berakibat dengan telah bermunculannya berbagai kerusuhan-kerusuhan sosial di negara adidaya itu dengan pemicu yang sebenarnya sepele dan  kecil saja.

Jadi, untuk Indonesia, saat inilah kesempatan sesungguhnya bila ingin me- "reboot" kembali perekonomian nasional agar bisa bangkit dengan cepat dan menjadi kekuatan ekonomi dunia yang baru. 

Bersihkan semua aparat birokrasi, militer dan polisi agar benar-benar hanya dipimpin oleh orang-orang yang jujur dan bersih, serta setia pada NKRI dan kepentingan rakyat (bukan pada kepentingan asing dan aseng).

Kembalilah ke "core business" asli bangsa ini, yaitu perekonomian berbasis agraris dan maritim. Bukannya saat ini terbukti bahwa sektor perekonomian yang masih menyumbang positif dan cukup besar terhadap perekonomian nasional, hanya tinggal  pertanian? 

Dan, tantangan dunia di masa depan itu, terletak pada perebutan 3 sumber daya saja yaitu pangan, air, dan energi. Semua kita memilikinya secara melimpah saat ini dan itu lebih dari cukup kalau mau digunakan sebagai modal dasar untuk menuju kemakmuran rakyat kita saat ini, asal ada kemauan politik yang kuat untuk mandiri pengelolaan di tiga sumber daya ekonomi itu. Wallahu a'lam. (*)

***

*) Penulis adalah Dr Iswan Noor, SE, ME. Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi FEB UB. Pernah menjabat Kaprodi Ekonomi Islam FEB UB.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta :
Editor : Deasy Mayasari
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Palembang just now

Welcome to TIMES Palembang

TIMES Palembang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.